Selamat Tahun Baru 2015

Para bruder yang baik hati,

Ada sekian banyak ungkapan Paus Fransiskus yang meng-inspirasikan yang bisa dipakai untuk memperkaya ucapan Selamat Tahun Baru, namun saya hanya mau mengutip 3 butir yang diajukannya sebagai tujuan Tahun Hidup Bakti, yaitu: mengenang masa lalu dengan penuh syukur, merangkul masa depan dengan penuh harapan serta menghayati masa kini dengan sepenuh hati dan segenap jiwa.


Mengenang masa lalu dengan penuh syukur
Waktu Kapitel 2014 kita berkesempatan untuk merenungi kembali dengan penuh syukur kepelayanan kongregasi di masa lalu. Sejumlah bruder mengadakan perjalanan menapak-tilas para pendahulu, berawal di bawah salib kayu besar di VolksabdijOssendrecht, di mana pada tahun 30-an abad lalu para pemuda pengangguranmemulai hari-hari mereka dengan doa; lalu ke Oosterhout, Breda dan Bergen opZoom, dan mengakhirinya dengan ibadat di dalam gereja Geertrudis yang monumental di Bergen op Zoom. Bukan soal prestasi, melainkan untuk mengenang mereka yang memungkinkan kongregasi kita bermakna secara eksistensial bagi perkembangan diri orang lain.

Sebagaimana gedung-gedung besar yang kita tinggalkan itu tercabut dari semangat yang mendasarinya ketika dibangun dulu, demikian juga mereka bisa menjadi kekaguman yang menyesatkan. Risiko ketercabutan demikian bukanlah imajinasi belaka, kiranya jelas dalam buku "Huijbergen dan Segala Ujung Bumi" yang ditulis oleh  Rob Wolf dalam rangka peringatan jubileum 150 tahun kongregasi kita. Suatu kisah yang amat jujur dan memikat tentang aktivitas di masa lalu; namun sia-sialah kalau mau menemukan aspek batiniah dari pengabdian itu.  Jejak-jejak aspek batiniah yang tidak ditemukan itu misalnya retret tahunan, rekoleksi bulanan, gambar-gambar suci yang lusuh karena sering dipakai, biji-biji rosario yang jadi tipis terpilin tangan, buku pemeriksaan batin dan sebagainya. Di situlah terdapat sumber energi para bruder, yang merawat pengabdian diri mereka; di situlah mereka menemukan kedamaian dalam keterombang-ambingan situasi serta relasi; dari situ mereka menimba daya untuk pengorbanan dan untuk pengambilan keputusan-keputusan yang sulit. Kalau kita mau adil terhadap para pendahulu kita, janganlah kita membiarkan dimensi batiniah ini tidak diungkapkan. Bahwa terjadi demikian, dan luput dari perhatian banyak orang, menunjukkan bahwa perspektif sang penulis yang sedikit kurang. Tetapi hal itu juga menunjukkan melemahnya perhatian kita terhadap penghayatan iman.

Merangkul masa depan dengan penuh harapan
Dengan melemahnya perhatian untuk penghayatan iman seperti itu, yang kadang-kadang mengambil bentuk skeptis, sulitlah orang memberi tempat bagi butir kedua, 'merangkul masa depan dengan penuh harapan', dalam penghayatan kita. Namun keyakinan bahwa Kasih Allah yang memanggil kita tetap aktif dalam diri kita; dan yakin bahwa meskipun kita keras kepala dalam rencana dan prioritas kita, Kasih tanpa pamrih ini di dalam dan melalui diri kita bisa kapan saja meyakinkan orang lain bahwa Dialah yang memanggil kita; yakin bahwa Kasih tanpa pamrih ini sewaktu-waktu bisa memberi ketentraman pada orang di sekitar kita; dan yakin bahwa ketika solidaritas Allah sewaktu-waktu mewujud di dalam kelembutan kita, maka masa depan tidak dilihat dari perspektif harapan dan prestasi kita sendiri, melainkan pada KasihNya yang berdaya cipta kreatif tak-terbayangkan.  Kalau demikian ada harapan. Sebab kekurangan dan kegagalan kita tidak bisa menghalanginya. Dia yang bersabda, "Aku ada bagimu", akan memberi energi bagi orang-orang juga di masa depan untuk 'ada' bagi orang lain.

Menghayati masa kini dengan sepenuh hati dan segenap jiwa
Paus menyebut tujuan ketiga sebagai 'menghayati masa kini dengan sepenuh hati dan segenap jiwa'. Anjuran untuk hadir dengan penuh perhatian dan kasih, menuntut kita tetap terbuka terhadap kelemahan-kelemahan dan juga kebaikan-kebaikan di sekeliling kita. Orang yang bisa bersyukur atas masa lalu dan bisa memandang penuh harapan pada masa depan yang belum diketahui, juga dengan mudah akan bisa menghayati aktualita di sekitarnya dengan perhatian dan kasih.

Marilah kita saling membantu agar segala tumpukan kebijak-sanaan, timbunan pedih kekecewaan dan kegagalan tidak menghalangi kita untuk tetap bersikap terbuka secara batiniah. Marilah kita juga tetap memberi perhatian bagi batin serta iman kita, karena barangsiapa tidak setiap hari masuk ke dalam diri sendiri, pada suatu ketika pintunya akan tertutup; atau menurut pepatah di musim dingin: 'barangsiapa tidak setiap hari mengaduk hatinya, akan beku sendiri'.

Setulus hati saya ucapkan, semoga Tahun 2015 menjadi Tahun Para Religius bagi kita masing-masing; dan bagi umat beriman menjadi suatu tahun yang memperkaya serta memberi kedalaman makna hidup.

br. bram
Huijbergen

09-01-2015

St Mary and the Child